Rabu, 28 Maret 2012

9. Organisasi Internasional



menurut Boyle (1985: 6) organisasi internasional adalah produk dari hukum internasional. Ini adalah sebuah bentuk anologi dari level domestik yang mana menjadikan hukum sebagai keyakinan order dan tingkah laku bertanggung jawab dari komunitas nasional. Maka hukum internasional adalah sebuah kode desain tingkah laku yang dianut sebaik mungkin dalam sebuah sistem internasional yang relatif anarki. Untuk itu dalam jurnal ini akan dibicarakan mengenai sejarah hukum internasional dan bagaimana organisasi internasional terbentuk pada akhirnya.
Mungkin secara historikal prototype awal dari organisasi internasional adalah Delian League–sebuah bentukan city-states Yunani yang didominasi Athena dengan tujuan memfasilitasi kerjasama militer melawan musuh bersama di abad 5-4 sebelum Masehi. Bentukan awal lainnya adalah Hanseatic League–sebuah asosiasi perdagangan di Jerman Utara pada abad 11-17 (Jacobson 1979: 7). Namun sebelumnya muncul organisasi internasional, Christian Roman Empire, hingga abad akhir abad pertengahan.
Dengan mengingkatnya negara berteritori setelah Westphalia 1648, Gereja sebagai organisasi internasional terhapuskan. Namun setelah keruntuhan kerjaan Roma, hukum Roma masih masih bertahan kendati telah kehilangan koneksinya dengan otoritas terkini dan kemudian menjadi sistem aturan yang ideal. Hukum Roma mengatur hubungan antarpangeran dan juga hubungan internasional. Bagi kerajaan Roma, negara tidak memiliki common superior dan prinsip legalnya adalah untuk melayani sebagai tindakan standar tertinggi, memerintah,dan relasi mutual. Standar ini tidak hanya terlihat sebagai aturan moral tetapi juga aturan legal yang mana membuat dunia tampak sebagai komunitas legal ketimbang organisasi sentral lintas dunia.
Pada abad ke 17 pemikir Belanda, Hugo Grotius, berpendapat bahwa law of nature mengikat seluruh umat manusia. Hukum internasional tidak semata-mata meregulasi hubungan antarnegara, ia merupakan hukum universal, hukum dari komunitas umat manusia, termasuk di dalamnya segala macam sesuatu yang beralasan, semua anggota dari ras manusia (Schiffer 1954: 16). Kemudian pemikiran Grotius ini diteruskan oleh pemikir Belanda kontemporer, Samuel Pufendorf, yang meletakkan dasar yang penting bagi organisasi internasional modern. Ia menyatakan negara sebagai perseorangan dengan intelejen dan keinginan, melakukan aksi-aksi yang tidak biasa pada dirinya sendiri dan terpisah dari individual lainnya (Pufendorf 1935 [1672]: 983). Ungkapan tersebut melegalkan negara bagi kedaulatannya dan bagi komunitas global mereka. State of nature atau lingkungan internasional adalah state of natural liberty di mana self-love sejalan dengan kehidupan sosial dan kewajiban dan di mana kedamaian adalah kondisi alami umat manusia–berkebalikan dengan pemikir Inggris Hobbes yang mengatakan bahwa perang adalah kondisi alami manusia dan bahwa hidup itu soliter, menyedihkan, menjijikkan, miskin, dan begitu singkat (Hobbes 1651).
Abad berikutnya setelah tulisan Grotius dan Pufendorf, Michael Wolff menciptakan sebuah ide yang baru, global citizenry. Sebagaimana Pufendorf, Wolff melihat negara-negara sebagai perseorangan yang bebas dan equal yang hidup berdampingan dalam state of nature, mereka diatur oleh natural law. Negara-negara tersebut tidak memiliki hak dan juga kewajiban. Dalam pemikiran Pufendorf, Wolff menemukan adanya kemerdekaan negara dari inteferensi luar dan hak mereka untuk tidak pula menginterferensi.
Langkah Wolff diikuti oleh Emerich de Vattel, hanya saja ia tidak setuju dengan beberapa konsepnya. Vattel tidak setuju dengan konsep pemerintahan dunia. Apa yang membedakannya adalah karena ia lebih humanitarian, kosmopolitan, dan juga lebih demokratis. Ia menolak ide kerajaan berdasar kepemilikan monarki dan kedaulatan populer teradvokasi. Ia juga berbeda pendapat mengenai nature. Menurutnya apa yang disebut nature adalah kondisi aktual ketimbang idealnya. Ia sepakat dengan Hobbes bahwa state of nature adalah bahwa manusia dalam isolasi presocial, masing-masing bergantung pada diri sendiri untuk bertahan (Stone 1954: 16). Kemudian pada tahun 1789 seorang pemikir Belanda, Jeremy Bentham, meneruskan pemikiran Vattel dan mencetuskan term hukum internasional pada masa Revolusi Prancis. Bentham berasumsi bahwa hukum internasional adalah mengenai hak dan obligasi negara, bukan individual. Ia memahami bahwa perselisihan antarbangsa mengenai hak akan terus meningkat di bawah hukum internasional. Solusi yang ia berikan adalah sebuah common court of adjudicature untuk mengatasi perselisihan (Bentham 1843: 535).

Setelah Kongres Vienna, setelah PD I, Lassa Oppenheim menulis bahwa dengan Final Act dari Kongres Vienna, aktivitas kuasi-legislatif konvensi internasional telah mengkalim diri sendiri untuk pertama kalinya bahwa adanya representatif bagi semua orang (Oppenheim 1921: 4). Hasilnya semua kedaulatan negara dan legal equality adalah aturan  bahwa tidak sebuah negara pun, sekecil apapun, dapat terikat oleh aturan yang tidak tersetujui oleh mereka sendiri. Pemikiran Oppenheim ini kemudian diujikan dalam pembentukan Liga Bangsa-bangsa dan mengalami kegagalan karena terdapat beberapa kontradiksi. Seperti yang diungkapkan oleh Pufendorf bahwa tidak ada gunanya menuliskan perjanjian antarnegara jika masing-masing negara tidak menyetujuinya. Patut diketahui bahwa memaksudkan organisasi internasional tanpa fungsi eksekutif, namun hanya legislatif dan administrasi keadilan (Schiffer 1954: 169).
Mungkin contoh terbaik dari evolusi dalam mengatur global common adalah perubahan iklim. Pada Desember 1997, lebih dari 160 bangsa bertemu di Kyoto Jepang mengenai perubahan iklim dan menghasilkan Kyoto Prootokol yang mana negara-negara industri setuju untuk mengurangi level emisi gas rumah kacanya dari tahun 1990.
Analisis
Beberapa perkembangan mayor telah terjadi dalam hukum internasional dan juga organisasi telah menciptakan situasi yang unik. Pertama, globalisasi dipertanyakan dan isu-isu low seperti AIDS, terorisme, lingkungan, perdangangan, finansial, dan migrasi menjadi relatif lebih dipentingkan dari tahun-tahun sebelumnya yang lebih mengutamakan masalah sekuriti.
Kedua, di pertengahan abad 20, institusi seperti PBB dan Uni Eropa mendapatkan legal personhood. Kini banyak organisasi internasional bertindak sebagai tubuh kuasi-legislatif hukum internasional. Ketiga, dalam konteks legal tertentu, individual kini mendapatkan legal standing pula di bawah hukum internasional. Tiga faktor inilah yang kemudia memperkuat kehadiran hukum internasional dan juga organisasi internasional.
Sumber:
Zweiffe, Thomas D. 2010. ‘A Brief History of International Organization’ dalam International Organization & Democracy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar